Minggu, 14 Maret 2010



Selama MTQ jumlah pengunjung semakin meningkat.

Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura.

Senin, 20 April 2009 Oleh Gusdut • Pariwisata
Salah satu peserta MTQ ini, melihat langsung Prasasti yupa berupa  lesong batu.
Salah satu peserta MTQ ini, melihat langsung Prasasti yupa berupa lesong batu.
Foto : Gusdut.

Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindah, mengambil, mengubah bentuk dan warna, memugar dan memisahkan benda cagar budaya. Akan dikenakan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda setinggi-tingginya 100 juta rupiah.

Demikian pesan yang terpampang pada sekitar lokasi situs kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura yang berada di desa Muara Kaman hulu, kecamatan Muara Kaman kab.Kutai Kartanegara (Kukar). Pesan ini ditujukan untuk masyarakat atau para pengunjung, agar selalu bisa menjaga kelestarian cagar budaya yang ada.

Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura ini, menyimpan beberapa koleksi penting peninggalan sejarah kejayaan Kutai dimasa lampau. Salah satunya yakni berupa prasasti yupa berupa lesong batu yang memiliki nilai sakral yang tinggi serta beberapa makam tua yang ada disekitar lokasi.

Peninggalan sejarah yang berada didalam museum situs di Muara  Kaman.

Peninggalan sejarah yang berada didalam museum situs di Muara Kaman.
Foto : Gusdut.
Ditengah-tengah lingkungan lokasi situs berdiri dengan megahnya sebuah museum yang dibangun pada tahun 2007 untuk menyimpan beberapa koleksi peninggalan yang ada. Namun museum tersebut belum bisa dimanfaatkan, karena belum adanya serah terima dari Balitbangda Kukar ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Kukar.

Menurut penjaga situs Effendi D, akhir-akhir ini jumlah pengunjung semakin meningkat. Hal ini dikarenkan pada saat ini Kecamatan Muara Kaman menjadi tuan rumah MTQ ke-31, sehingga banyak dari para kafilah juga ingin melihat secara langsung situs tersebut.

Biasanya wisatawan yang berkunjung berasal dari manca negara dan pengunjung lokal yang berasal dari Balikpapan, samarinda, bontang dan beberapa daerah terdekat,” tambah Effendi.

Ini terbukti adanya pengunjung dari Kecamatan Kembang Janggut yang juga sebagai Kafilah Peserta MTQ ke-31. bersama beberapa temannya, ia menyempatkan diri untuk secara langsung melihat peninggalan sejarah Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura yang sudah terkenal keberadaannya. (@gus)

Tampak berdiri dengan megahnya museum ini, sebagai tempat menyimpan  peninggalan sejarah Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura.

Tampak berdiri dengan megahnya museum ini, sebagai tempat menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura.
Foto : Gusdut.

Selasa, 25 November 2008 , 12:21:00

LEMBAGA Adat Kerajaan Kutai Mulawarman yang menggelar upacara adat Erau Muara Kaman 2008 dimulai Minggu (23/11) hingga Sabtu (6/12), dipusatkan di ibukota Kecamatan Muara Kaman. Upacara adat yang dilakukan setiap tahun sekali itu mendapat sambutan meriah dari masyarakat Muara Kaman dan Pemkab Kukar. Pergelaran Erau Muara Kaman ini diharapan mampu menunjukkan dan menjadi peta wisata budaya Kutai Kartanegara.

“Pelaksanaan upacara Adat Erau ini diharapkan mampu mengangkat seni tradisional yang merupakan tradisi asli budaya daerah. Karena tradisi budaya sudah hampir musnah ditelan zaman dan digeser oleh seni modern yang lebih menarik minat generasi muda sekarang,” papar Ketua Pelaksana Erau Muara Kaman 2008, Rahmadi.

Pemkab Kukar berharap agar even Erau Muara Kaman dijadikan salah satu objek untuk Visit Indonesia Year 2008. Karena pesta adat merupakan gambaran dari seni budaya peninggalan kerajaan Kutai Martadipura yang merupakan kerajaan tertua di Indonesia yang sering disebut kerajaan Kutai Mulawarman.

“Erau Muara Kaman ini bertujuan mendukung program pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata dan Budaya yang dikemas dalam sebuah even upacara adat dalam rangka Visit Indonesia Year 2008. Erau juga memperingati hari jadi Kota Mulawarman ke-1658 tahun dan HUT Kecamatan Muara kaman ke-108 yang ditujukan untuk menambah rentetan peta wisata budaya,” jelasnya.

Acara adat dilaksanakan upacara Nyahu Mantang Tubing yang dilaksanakan tujuh hari sebelum acara dimulai. Selanjutnya upacara Jamu Benua yang dilaksanakan di tiga tempat, yaitu pada Kepala Benua di Bukit Martapura, Tengah Benua di Bukit Tanjung Gelumbang, dan Burit Benua di Lebak Pompong Muara Kaman.

Erau Muara Kaman juga menggelar upacara Maharaja Bedudus dan Bepelas Raga dan Pusaka. Pembukaan upacara adat Mulawarman dan acara pasar rakyat berlangsung selama tujuh malam. Pembacaan haul dan ziarah kubur dilakukan hari keeman dan malam hiburan rakyat serta umum selama tujuh malam, lomba olahraga tradisional dilakukan tujuh hari dan pasar rakyat digelar selama 10 malam.

Penutupan upacara adat Mulawarman dan pasar rakyat akan ditandai dengan Melaboh Jukut Baong Putih ke Sungai Mahakam dan Melaboh Lipan di Danau Lipan. Erau juga diakhiri dengan belimbur (bersiraman) yang bakal diikuti seluruh warga Muara Kaman dan pengujung yang datang dari wilayah lain.(hmp06)



Erau Muara Kaman Dijadikan Event Upacara Adat dalam Visit Indonesia Year 2008


Dikirim Selasa, 25 November 2008 Oleh andi | Seni dan Budaya
Salah satu prosesi upacara Erau Muara Kaman
Salah satu prosesi upacara Erau Muara Kaman

TENGGARONG- Upacara Adat Kerajaan Kutai Mulawarman (Erau) dilaksanakan setiap tahunnya dikarenakan dengan maraknya perkembangan pesta wisata sehingga mampu mengangkat seni Tradisional yang merupakan tradisi asli budaya daerah yang sudah hampir musnah ditelan jaman, dan digeser oleh seni modern yang lebih menarik minat generasi muda sekarang. Pelaksanaan Erau ini dimulai 23/11 s/d 06 Desember mendatang di Ibukota Kecamatan Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara (Kukar).

Adapun tentang erau muara kaman, upacara adat mulawarman yang di jadikan Event Upacara Adat dalam Visit Indonesia Year 2008, adalah seni, Budaya peninggalan kerajaan Kutai Martadipura ( Kerajaan Tertua di Indonesia ) yang sering disebut kerajaan Kutai Mulawarman, demikian disampaikan oleh ketua pelaksana Erau Muara Kaman Rahmadi.

“Adapun maksud dan tujuan Erau Muara Kaman ini adalah untuk mendukung program pemerintah, khususnya dinas pariwisata dan budaya yang dikemas dalam sebuah event upacara adat dalam rangka menyambut menyambut visit Indonesia year 2008, serta memperingati hari jadi kota mulawarman ke 1658 th, dan HUT Kec. Muara kaman ke 108,” ujarnya.

Ditambahkannya, acara tersebut ditujukan untuk menambah rentetan peta wisata budaya. Kegiatan erau dilaksanakan oleh panitia pelaksanan dari lembaga adat kerajaan Kutai Mulawarman yang didukung oleh Pemkab Kukar dan Seluruh Lapisan Masyarakat Muara kaman.

“Saya harap tampilan acara erau ini mampu menunjukkan dan menjadi peta wisata budaya Kukar”, harapnya.

Lebih lanjut Rahmadi juga mengatakan, selama pelaksanaan Erau itu, berbagai acara adat dilaksanakan diantaranya Upacara Nyahu Mantang Tubing Yang dilaksanakan 7 hari sebelum acara dimulai, Upacara Jamu Benua yang dilaksanakan di tiga tempat yaitu kepala benua di Bukit Martapura, tengah benua di bukit Tanjung Gelumbang, dan Burit Benua di Lebak Pompong. Serta upacara Maharaja Bedudus dan bepelas raga dan pusaka.

Pembukaan Upacara adat Mulawarman dan acara pasar rakyat, upacara adat merangin selama 7 malam, pembacaan Haul dan Jiarah kubur hari ke 6, malam hiburan rakyat dan Umum selama 7 Malam, olahraga tradisional selama 7 Hari, pasar rakyat selama 10 malam.

”Acara penutupan upacara adat Mulawarman dan Pasar Rakyat dengan rangkaian Melaboh Jukut Baong Putih Kesungai Mahakam dan Melaboh Lipan di Danau Lipan seluruh rangkaian acaran ditutup dengan belimbur,” pungkasnya. (HMP 06)

Mulawarman dan Lingkungan

Di jaman Kerajaan Martadipura, rupanya telah dimulai upaya perlindungan terhadap ikan dari kepunahan akibat penangkapan yang tidak terkendali. Dari cerita rakyat secara turun temurun, di sebuah kdanau kecil bernama Loa Kang, yang terletak di Desa Pela Kec. Kota Bangun ada sebuah larangan sejak zaman Mulawarman, untuk menangkap ikan ditempat ketika musim kemarau.

Ikan di Danau Loa Kang hanya boleh ditangkap ketika musim banjir saja, sedangkan ketika pasca banjir di mana biasanya warga melakukan "pendanauan" atau "mendanau" yaitu kegiatan menangkap ikan secara langsung ketika musim kering, sangat ditabukan. Apabila dilanggar maka yang melakukan pelanggaran dapat jatuh sakit, bahkan meninggal. Obatnya hanya dapat dilakukan dengan cara betawar (mantra) atau belian yaitu pengobatan dengan cara memanggil pawang untuk memerangi roh jahat yang telah membuat "pehunan" (kesambet/tekena tulah).

Dibalik pantangan mistis itu sebenarnya terkandung upaya perlindungan terhadap kelestarian ikan, pasalnya bila telah memasuki musim kemarau, danau-danau di Ulu Mahakam akan mulai mengering. Pada saat itu warga akan mulai panen massal ikan yang terjebak pada lobang air dangkal di dasar danau, dalam pencarian ini mereka tidak akan pandang bulu, mulai yang besar hingga kecil disikat juga. Sehingga perlu adanya upaya perlindungan alam dan itu telah dilakukan Kerajaan Martadipura sejak diperintah Maharaja Mulawarman Naladewa.

Mengenang Kebesaran Kerajaan Hindu Martadipura


Sebagian kita tentu merasa agak asing dengan nama Martadipura, apabila penyebutannya dikaitkan sebagai kerajaan berdiri sendiri. Orang banyak entah karena familiar saja atau terpeleset pengertian dan lidah atau sengaja mempelesetkan saja, lebih senang menyebut kerajaan ini sebagai Kutai Mulawarman atau Kutai Martadipura.

Padahal Kerajaan yang disebut-sebut sebagai Kerajaan tertua di Indonesia ini, adalah sebuah kerajaan yang terpisah sama sekali dari kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan Martadipura adalah sebuah kerajaan bercorak hindu, dan didirikan penduduk Asli Kalimantan Timur bersama beberapa bangsawan dan Brahmana dari India pada sekitar abad Ke 4 Masehi.

Baru pada tahun 1635 Martdipura bersatu dalam lingkungan Kekuasaan Kutai Kartanegara, setelah dianeksasi melalui sebuah perang dahsyat yang akhinrnya menghancurkan sama sekali Dinasti Mulawaraman. Ketika perang terjadi Martadipura dipimpin oleh Maharaja Darmasetia raja yang ke 25, dan Kartanegara dipimpin raja ke 8 bernama Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa , yang cukup menarik di sini adalah pemakaian istilah Maharaja bagi raja-raja Martdipura, dan istilah Aji bagi Kartanegara.

Apakah gelaran Aji Pangeran dan Aji Batara serta Aji Dipati, yang dipakai Raja Kutai ini terkait status kerajaan yang sebenarnya masih merupakan daerah vasal dari Martadipura. Nampaknya memang perlu studi mendalam dari para arkeologis dan budayawan Indonesia.

Ibu kota Kerajaan bernama Martapura terletak di Benua Lawas yang letaknya adalah sisi kiri mudik Sungai Mahakam atau arah Ulu seberang Muara Kaman saat ini. Martapura berarti Istana Tempat Pengharapan, dengan pendirinya adalah seorang Raja bernama Kedungga dengan istrinya bernama Sri Gabok berasal dari Negeri Tebalai Indah seberang Muara Kaman saat ini.

Kemudian hari ketika kerajaan sedang dilanda huru hara lantaran serangan gerombolan raksasa, Kudungga yang sedih tidak dapat membasmi raksasa-raksasa tersebut, akhirnya pergi bersemedi ke sebuah wilayah bernama Negeri Pantun yang terletak di Kecamatan Muara Wahau Kutai Timur sekarang. Dalam persemediannya itu Kedungga bertemu dengan seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Aswawarman Pangeran dari Negeri Kalingga di India.

Kepada Aswarman kemudian Kudungga menanyakan apakah ia sanggup membantu rakyat Martadipura untuk membunuh gerombolan raksasa yang selalu merusak rumah dan menganiaya warga. Aswawarman menyanggupinya, kemudian bersama mereka berhasil mengalahkan para raksasa. Sebagai tanda bangga dan ucapan terima kasih akhirnya Aswawarman dikawinkan dengan putri Kedungga.

Dari Perawinan itu akhirnya lahir tiga orang putra, diantara tiga orang putra itu Mulawarman adalah yang terkemuka. Ia diangkat menjadi Raja Martdipura bernama Maharaja Sri Mulawarman Naladewa. Dalam prasasti Yupa ia disebutkan sebagai raja yang berani dan perkasa, mampu menaklukkan musuh di medan perang dan menjadikan negerinya sebagai bawahan.

Mulawarman juga seorang raja yang dermawan, terbukti dengan hadiah yang diberikannya pada para Brahmana berupa ribuan ekor sapi dalam sebuah upacara yang disebut Bahusuwarnakan. Nama Mulawarman sendiri artinya adalah "selembar akar" .

Dibawah pimpinan Maharaja Mulawarman, kehidupan sosial dan kemasyarakatan diyakini berkembang dengan baik. Pemerintahan berpusat di Keraton yang berada di Martapura wilayah kekuasaannya terbentang dari Dataran Tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar), Kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun, Kerajaan Pantun di Wahau, Kerajaan Tebalai, hingga ke pesisir Kalimantan Timur, seperti Sungai China, Hulu Dusun dan wilayah lainnya.

Kuatnya kekuasaan Mulawarman saat itu tidak lepas dari peranan dan Jasa kaum Brahmana. Sebagai pemuka agama mereka memberikan dorongan spiritual yang memantapkan hati Mulawarman dalam mengalahkan musuh di medan perang. Dengan penaklukan terhadap kerajaan-kerajan kecil tersebut, kondisi negara dapat stabil sehingga suasana tentram dapat berjalan selama masa pemerintahannya.

Apalagi ketika itu perdagangan dengan negara luar dapat berjalan dengan, bandar Muara Kaman yang berada di Tanjung Gelombang, sebelah barat Bukit Berubus sekarang ramai didatangi Jung-jung dari negeri tiongkok dan India. Para pedagang India membawa berbagai dagangan seperti kain dan manik-manik, serta keagamaan yang dibarter dengan hasil alam setempat, berupa Tengkawang, rotan, dan emas.

Demikian pula pedagang Tiongkok mereka membawa berbagai guci dan barang keramik untuk dibarter dengan hasil alam setempat. Hasil alam yang melimpah, baik emas, ikan dan pertanian serta peternakan berjalan dengan baik.

Pelabuhan Tanjung Gelombang adalah sebuah pelabuhan alam yang dikeliling Danau sangat luas ketika yakni Danau lipan. Apabila ditelusuri saat ini, nampak sekali bila keberadaan Bukit Berubus dan Martapura adalah sebuah gundukan bukit yang pada masa lalu dikeliling danau luas bagaikan lautan.

Sampai saat ini bekas lokasi pelabuhannya masih ada di Muara Kaman, demikian pula dengan berbagai kanal buatan serta kubu-kubu pertahanan masih terdapat di sana. Bahkan beberapa tahun lalu beberapa Arkeolog dari Universitas Brawijaya Malang, melakukan penelitian dan menemukan banyak stuktur bangunan dari bata merah yang disinyalir adalah undakan atau pondasi bangunan candi di bukit Berubus lokasi yang sama dengan ditemukannya prasasti Yupa.

Prasasti Hilang Muara Kaman

Prasasti Hilang Muara Kaman
Prasasti berbentuk seperti ini banyak terdapat di muara kaman, dan terkadang dijadikan tungku api atau dipecah-pecah begitu saja, lantaran kurang mengertinya warga tentang sisi historis sebuah budaya

Asal Usul Danau Lipan

Dari BudayaIndonesia

Langsung ke: navigasi, cari

Asal Usul Danau Lipan


Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.


(Disadur dari Masdari Ahmad, Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1979)